Jangan Pulang Kampung Kalau Belum Sarjana!



Jika ada yang mencari di google, maka anda akan menjumpai suatu posting blog yang judulnya sama dengan judul posting ini. Ya, benar saya meniru judulnya, namun bukan isi tulisannya. Karena bagi saya ini judul yang menarik untuk dibahas di tengah kegalauan saya yang sagat ingin menulis. Lalu apakah saya plagiat karena mencontek dan tidak menghargai karya orang lain? Mungkin tidak, justru ini cara saya menghargai karya seseorang, sebab cara saya mengagumi dan menghargai seseorang adalah menggap serius dan penting terhadap  karyanya. Nah, inilah wujud rasa kagum saya, karena judul ini menarik bagi saya dan saya juga ingin menuliskan kisah saya tentang judul ini. Hehe...

“Jangan Pulang kampung Sebelum Sarjana” menurut saya pribadi ungkapan ini bisa dijadikan prinsip yang lumayan bagus untuk diterapkan pada masa-masa kuliah, setidaknya untuk akhir-akhir ini. Bagaimana tidak, sudah lama sekali kuliah ini kujalani, namun belum selesai juga. Padahal tinggal menyelesaikan sebuah skripsi. Malasnya minta ampun. Oleh karena tidak ingin membuat orang tua kecewa apabila pulang kampung namun belum memperoleh title sarjana dan terkesan malas-malasan, maka perinsip di atas ku terapkan. J  


Sebenarnya bukan sengaja untuk mengulur masa kuliah. Pada awalnya saya sangat bersemangat untuk menyelesaikan kuliah di Fakultas Hukum itu. Semenjak awal kuliah telingaku selalu disusupi dengan kalimat-kalimat pengagungan akan hukum (hukum positif). Semua yang diinformasikan adalah kebaikan dari hukum itu sendiri dan sistem yang menjadi naungannya. Dikepala kami yang ditanamkan adalah bahwa hukum di negeri kami ini adalah berasas pada kebaikan. Diproduksi dengan metode yang benar. Dengan asas ini kemakmuran dan kedamaian akan tercapai. Itulah hakikat dari cita cita hukum. Maka daripada itu beruntunglah kami yang mempelajarinya, memurnikannya, dan yang memperjuangkan tegaknya hukum itu nanti. Kami semua nantinya akan menjadi orang besar karena mengenal hukum ini. Pemikiran-pemikiran ini tentunya memberikan semangat kepada saya untuk serius kuliah. Jadi kesimpulannya adalah semangat kuliah saya ada pada ‘kebanggan’. Bangga menjadi sarjana hukum. J

Sekian lama aku mulai disadarkan, bahwa ‘hukum’ yang selama ini membuatku bangga ternyata tidak lebih dari sekedar karya kebodohan yang menjerumuskan kepada kehinaan. Tidak layak untuk dijadikan aturan hidup sama sekali. Hukum yang lahir dari rahim sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan), dari suatu asas yang masih berbentuk filosofi yang bisa diterjemahkan dengan berbagai bahasa dan makna politik, dan juga konstitusi yang merupakan hasil karya manusia yang setidaknya lebih baik dari tulisanku ini (hehehe). Hukum yang menjadi bukti kebodohan manusia karena merasa mampu untuk mengatur hidupnya sendiri tanpa menoleh kepada aturan dari Penciptanya. Hukum yang sekian lama telah menjadi alat kezoliman para diktator-diktator minoritas terhadap rakyat mayoritas. Hukum yang senantiasa berubah ke arah kerusakan-kerusakan. Hukum yang selalu bercerita tentang kesejahteraan dan kebahagian hidup, namun sejatinya hanyalah khayalan. Hukum yang selalu berusaha mendiskriminasi umat Islam.

Mungkin itu hal besar yang membuat saya tidak berhasrat untuk menyelesaikan kuliah. Dorongan yang sebelumnya menggebu-gebu berubah menjadi angin lalu. Tidak ada lagi kebanggaan menjadi sarjana hukum. Saya tidak menyalahkan agama, tidak juga menyalahkan fakultas beserta para dosen. Saya hanya menyalahkan diri sendiri sebab sangat bodoh sebelumnya (masa kecil) melalaikan diri untuk memperdalam ilmu Agama. Dan juga sangat bodoh menjadikan ‘kebanggan’ sebagai semangat. Adalah lebih tepat lagi sebaiknya saya bersyukur sebab sudah ditunjukkan jalan oleh-Nya, lalu memperbaiki atau meluruskan ‘motif’ supaya saya mendapatkan kembali semangat untuk menyelesaikan perkuliahan. Mudah-mudahan Allah memberikan kemudahan...

Artikel Terkait
Share on Google Plus
"Semoga Menginspirasi"
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 Tanggapan:

Posting Komentar