Politik Pragmatis Negeri

Politik pragmatis di negeri ini sebenarnya sangat telanjang. Bisa kita lihat jelas faktanya. Parpol Islam (berbasis massa umat Islam) dimana pada kampanye pileg yang lalu mempropagandakan gerakan non-golput untuk umat Islam dengan alasan golput dapat mengantarkan partai sekuler ke tampuk kekuasaan. Maka parpol Islam mengajukan diri sebagai corong aspirasi yang tepat untuk umat Islam dalam pemilu. Namun setelah suara masyarakat didapatkan, orientasi tadi berubah haluan. Tuntutan dan harapan masyarakat -yang menginginkan pemerintahan yang bersih dari virus-virus sekularisme dan pemimpin-pemimpin fasik- sekarang hanya dipandang sebelah mata, bahkan bisa dibilang tidak dilihat sama sekali. Parpol Islam malah duduk satu tenda dengan parpol sekuler dalam agenda koalisi politik. Logikanya sikap tersebut malah melanggengkan pemerintahan sekuler bukan mencegahnya apalagi menentangnya. Ini ironi sekali. Parpol Islam mendukung dan menjadi bagian dari apa yang mereka tentang habis-habisan sebelumnya (partai sekuler). Idealisme yang sebelumnya dijunjung telah dibuang. Parpol Islam kini berkamuflase menjadi wujud yang egois dan mengerikan, lebih mementingkan posisi partai daripada keinginan dan harapan umat Islam terhadap mereka.

Fakta lainnya, mari menyoroti "Parpol Beringin". Bertenggernya parpol ini pada posisi ke dua pada pileg yang lalu membuat pimpinan partai sekaligus calon presiden (katanya) pada saat itu cukup percaya diri untuk berniat membentuk poros calon kepemimpinan pada Pilpres mendatang. Saking PD-nya, tawaran demi tawaran yang hadir sempat ditolak, termasuk tawaran pak joko. Akhirnya terjadi klimaks. Strategi untuk membentuk poros kekuasaan pada partai beringin mengalami blunder. Pimpinan parta “mengemis” ke poros-poros yang telah terbentuk termasuk ke salah satu parpol yang pernah ditolaknya. Dan akhirnya bisa ditebak, Pak Joko melakukan serangan balasan yang membuat Pak Rizal bertahan di wilayah koalisi Pak Bowo. Itupun niatnya kelak minta dijadikan menteri tertinggi. Lagi-lagi ini semua tentang bagaimana untuk berkuasa, atau paling tidak agar mendapatkan jatah kekuasaan. Jika tidak memungkinkan berkuasa, maka minimal mendapat jatah menteri.

Sedangkan Pak Joko juga demikian, orientasinya semata merebut kekuasaan tertinggi. Dimulai dari meninggalkan jabatannya sebagai gubernur. Padahal pak joko pernah berjanji untuk membereskan permasalahan Ibu Kota. Permasalahan Ibu Kota saja belum beres malah mencalonkan diri menjadi presiden. Singkatnya pak Joko itu calon presiden yang PR-nya belum tuntas, kinerjanya masih diuji dan dipertanyakan, dan kini ingin meraih kekuasaan tertinggi. Parahnya lagi kegopohan dan ambisi butanya yang tinggi untuk berkuasa sempat terekspos. Lobi-lobi dengan pihak asing menjadi pembicaraan hangat di media massa. Apalagi kalau bukan untuk mendapatkan restu dan dukungan asing, dan menguatkan peluangnya untuk menjadi orang nomor satu di Indonesia.

Pak JK juga terkesan “melawak”. Pasangannya sendiri –Pak Joko- sebelumnya pernah ia kritik. Pak Joko pernah dibilang tidak punya kapasitas untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Pak Joko masih terlalu "muda" untuk memimpin sebuah negara. Kini hanya berselang waktu dua tahun, persepsi itu berubah 180 derajat. Sekarang pak Joko dianggap sebagai person yang paling kredibel dan pantas untuk memimpin negeri ini. Pahadal Pak Joko belum menampilkan prestasi apapun saat menjabat sebagai gubernur selain masalah teknis-birokrasi semata. Sekali lagi, tatkala disodorkan kekuasaan, segalanya bisa menjadi Ironi.

Begitu juga dengan Pak Bowo dan Buk Mega. Masih lekat di benak kita bagaimana kemesraan mereka saat pemilu presiden sebelumnya. Segala kekurangan masing-masing person ditutupi. Segala cibiran dilawan. Segala kecacatan dimaklumi. Sekarang malah sebaliknya, tatkala berseberangan poros kekuasan aksi sikut-menyikut dipertontonkan. Padahal tidak banyak yang berubah dari keduanya. Person tetap sama, ideologi partai tetap sama. Sekali lagi, semuanya tentang siapa yang dapat tampil unggul dan mencapai tahta kekuasaan.

Ini tentu sangat memprihatikan. Jalannya perpolitikan negeri ini dengan asas politik pragmatis yang diperankan oleh parpol-parpol pragmatis pula tidak akan pernah melahirkan perubahan ke arah yang lebih baik. Jangankan memikirkan rakyat, yang ada malah penguasa dan parpol sibuk bagi-bagi kue kekuasaannya. Karena memang orientasi kepemimpinannya adalah kekuasaan bukan kepentingan rakyat. Sudah kelihatan dari "gelagatnya".

Sejatinya dengan pragmatisme politik yang terpampang jelas, masyarakat mempunyai alasan kuat untuk tidak turut andil dalam pemilu atau bahkan mengecamnya. Namun kondisi yang muncul tidak demikan. Ada beberapa alasan masyarakat masih mengikuti Pemilu. Pertama, optimisme masyarakat masih tinggi. Masyarakat masih berharap adanya secercah harapan perubahan dari calon-calon pemimpin tersebut. Kedua, ada pula masyarakat yang merasa tidak ada pilihan lain. Mereka terpaksa. Menurut mereka JALAN PERUBAHAN hanya ada di agenda pergantian rezim, tidak ada cara lain. Pemahaman ini muncul bukan tanpa alasan,. Dari bangku sekolah dasar sampai perguruan tinggi penduduk negeri ini terus menerus dipropagandakan dan dipaksa mengadopsi pemahaman sesat bahwa sistem negeri ini (demokrasi-sekuler) “hebat”, yang bermasalah hanya personnya.

Ketiga, ada pula pihak-pihak yang hanya “bertaklid” pada partai. Mengikuti keputusan-keputusan yang dibuat partai dengan dasar pertimbangan yang sebenarnya masih mengambang kebenarannya.
Artikel Terkait
Share on Google Plus
"Semoga Menginspirasi"
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 Tanggapan:

Posting Komentar