Pemimpin dan Kepemimpinan

Banyak dari umat Islam yang dibingungkan tatkala negeri ini sedang menggelar pemilihan pemimpin baru baik presiden, gubernur, dan anggota dewan. Bagaimana tidak, negeri ini adalah negeri demokrasi, yang mana kedaulatan berada di tangan rakyat, bukan syariat. Artinya para pemimpinnya termasuk calon pemimpinnya adalah pemimpin yang menjalankan kedaulatan rakyat bukan kedaulatan syariat, baik pemimpin dan calon pemimpin itu non muslim maupun muslim sekalipun.

Akibatnya banyak pihak dari kalangan umat Islam yang memilih mundur dari perhelatan pemilu alias golput, dengan berpegang pada prinsip bahwa memilih pemimpin yang tidak menerapkan syariat Islam adalah harram hukumnya. Di sisi lain ada pula yang merasa tetap berkewajiban memilih pemimpin meskipun pemimpinnya diketahui pasti tidak akan membawa pengaruh Islam di dalam kepemimpinannya. Sampai-sampai mengeluarkan fatwa “golput haram” dengan dasar “memilih pemimpin itu diwajibkan syariat”.

Selain itu juga ada pihak yang memilih pemimpin karena alasan yang dilematis. Mereka biasanya beralasan bahwa “Jika umat Islam tidak memilih pemimpin Islam, maka yang berkuasa nantinya adalah orang-orang non muslim. Maka menurut mereka tidak menjadi masalah bila pemimpin muslim tersebut tidak menerapkan Islam selama dia masih menjalankan sholat (muslim)”. Pihak ini merasa kondisi demikan ini adalah kondisi yang terpaksa. Maka tidak ada dosa atas aktivitas memilih pemimpin tersebut.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka muncul pertanyaan: Pendapat manakah yang rasional dan bisa diterima khusunya bagi umat Islam?

Terkait pertanyaan tersebut, maka penulis membuat rumusan sederhana yang berusaha penulis jelaskan dan tuliskan di media ini.

Pertama: Terkait pemilihan pemimpin itu sendiri. Secara sederhana kita tentu memandang bahwa memilih pemimpin dalam konteks kenegaraan adalah aktivitas masyarakat dalam memilih pemimpin negaranya, baik turut andil secara langsung maupun tidak langsung. Namun pada faktanya memilih seorang pemimpin tidaklah sesederhana itu. Ada pemahaman yang terlewatkan, yaitu dalam pemilihan pemimpin tidak sekedar memilih pemimpin, tapi juga memilih kepemimpinan (sistem yang dijalankan pemimpin tersebut).

Contohnya memilih seorang presiden, maka sistem yang dijalankannya adalah sistem pemerintahan demokrasi. Memilih seorang ketua kelompok pencuri, maka kepemimpinan yang dijalankannya adalah tentang filosofi bertahan hidup dengan jalan mencuri. Memilih ketua OSIS, maka kepemimpinan yang dijalankan ketua OSIS tersebut harus selaras dengan aturan yang berlaku di sekolah tersebut.

Kesimpulannya, memilih pemimpin tidak terselepas dari memilih kepemimpinan yang pemimpin tersebut jalankan.

Kedua: Allah swt. telah menjelaskan dalam firman-Nya, bahwa barang siapa yang tidak berhukum kepada hukum-Nya, maka orang tersebut dapat digolongkan menjadi tiga golongan. Yaitu golongan orang-orang yang fasik, dzalim, dan kafir. Artinya siapa saja yang tidak berhukum pada hukum Allah maka dia akan mendapatkan dosa.

Jika kita kaitkan dengan sosok pemimpin dan kepemimpinannya, maka secara sederhana kita bisa mengelompokkan pemimpin itu ke dalam dua kelompok. Yaitu kelompok pemimpin yang diridhai Allah karena menjalankan syariat Allah swt (kepemimpinan berdasarkan syariat), atau sebut saja pemimpin Islami. Dan kelompok pemimpin yang dimurkai Allah swt karena tidak berhukum pada hukum Allah (kepemimpinan yang tidak berdasarkan syariat), atau kita sebut saja pemimpin fasik/dzalim/kafir.

Dengan demikian kita juga bisa menggolongkan dan menilai aktivitas yang dilakukan “para pemilih” pemimpin tersebut yang mana diperankan oleh umat. Yaitu orang-orang atau glongan yang memilih pemimpin Islami, dan orang-orang atau golongan yang memilih pemimpin-pemimpin fasik/dzalim/kafir. Sudah pasti (rasional) barang siapa yang paham tentang dua golongan pemimpin tersebut tapi masih saja memilih pemimpin yang fasik/dzalim/kufur maka akan diperhitungkan oleh Allah swt di akhirat kelak.

Ketiga: Terkait sejarah Rasulullah SAW dalam dalam kontek pemimpin dan kepemimpinan. Rasulullah pernah ditawarkan menjadi pemimpin di kota Makkah oleh para kabilah di kota tersebut. Namun Rasulullah SAW menolah mentah-mentah tawaran itu. Rasulullah tetap focus pada jalan penyadaran (dakwah). Beliau tidak akan meninggalkannya meskipun dihadiahkan bulan dan matahari sekalipun.

Jika logika yang kita pakai adalah: “Yang terpenting sekarang adalah menempatkan orang-orang Islam di pemerintahan tanpa memperhatikan kepemimpinan (sistem) apa yang mereka gunakan”, maka hal tersebut berbeda dengan sikap yang dicontohkan Rasulullah SAW. Jika yang terpenting adalah kekuasaan ditangan orang-orang Islam tanpa memperhatikan kepemimpinan yang dijalankan, maka niscaya Rasulullah SAW menerima tawaran para kafir quraisy tersebut dan menjadi pemimpin di Makkah.

Adalah hal yang wajar jika fenomena dilematis ini muncul ditengah-tengah masyarakat. Setidaknya penyebab utamanya umat Islam pada saat ini berada di zaman fitnah, dimana umat kesulitan membedakan yang haq dan yang batil, mana ulama yang tulus dan mana ulama yang pragmatis.[]

Gambar: www.google.com
Artikel Terkait
Share on Google Plus
"Semoga Menginspirasi"
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 Tanggapan:

Posting Komentar