Jilbab Syari, Bagaimana Seharusnya?

Dari penelaahan terhadap nash-nash Al Qur’an dan As Sunnah ternyata Allah SWT telah memberikan aturan tertentu yang merupakan kewajiban tersendiri selain kewajiban menutup aurat. Kewajiban tersebut adalah kewajiban memakai jilbab jika seorang perempuan keluar dari rumahnya (berada dalam kehidupan umum). Perintah ini dapat difahami dari firman Allah SWT yang artinya : “Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu, dan isteri-isteri orang mukmin : ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab : 59)

Apa itu jilbab ? Inilah yang menjadi pangkal polemik. Untuk itu, pengertian jilbab harus difahami maknanya. Bukankah sebuah lafadz mengandung konotasi tentang fakta yang diwakilinya ? Karena lafadz jilbab adalah lafadz yang berasal dari bahasa Arab maka fakta jilbab yang diwakili oleh lafadz tersebut haruslah berupa fakta yang difahami oleh orang-orang Arab pada masa lafadz ini diturunkan (pada saat QS. Al Ahzab : 59 diturunkan), bukan pemahaman atas lafadz yang telah mengalami perubahannya.

Para ulama tafsir menjelaskan pengertian jilbab sebagai berikut : kain penutup baju luar/mantel yang menutupi seluruh tubuh (Tafsir Ibnu Abbas : 137), baju panjang (mula’ah) yang menutupi seluruh tubuh (Imam An Nawawi dalam Tafsir Jalalain : 307), baju luas yang menutupi seluruh kecantikan dan perhiasan wanita (Ali Ash Shabuni, Shofwah at Tafasir : 494), pakaian seperti terowongan (baju panjang yang lurus sampai ke bawah) selain kerudung (Tafsir Ibnu Katsir), dan lain-lain.

Makna ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW : “Rasulullah SAW memerintahkan kepada kami untuk keluar pada hari raya ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha, baik gadis-gadis, yang sedang haid, maupun yang sudah kawin. Mereka yang sedang haid tidak mengikuti shalat tetapi mendengarkan kebaikan serta nasihat-nasihat kepada kaum muslimin. Maka Ummu ‘Athiyah berkata : ‘Ya Rasulullah, ada seseorang di antara kami yang tidak memiliki jilbab.’ Maka Rasulullah SAW bersabda : ‘Hendaklah saudaranya meminjamkan kepadanya.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, dan Nasa’i).

Dalam hadits di atas diriwayatkan tentang seorang wanita yang tidak memiliki jilbab untuk keluar pada saat Idul Fitri atau Idul Adha dan Rasulullah SAW memerintahkan untuk meminjaminya. Yang dimaksud dalam hadits tersebut bukan pakaian biasa (al mihnah). Karena, apa mungkin seseorang tidak memiliki pakaian biasa (berarti telanjang) di masa Rasulullah SAW ?

Jilbab inilah yang menutupi pakaian biasa (al mihnah) yang digunakan wanita untuk menutupi auratnya tatkala mereka keluar rumah. Pengertian ini dapat difahami juga dari QS. An Nur : 60) yang artinya : “Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah dosa atas mereka menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Berdasarkan dalalah al isyarah (penunjukan yang didasarkan isyarat yang ditunjukkan nash), tsiyab (jamak dari tsaub) yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah pakaian luar (khimar/kerudung dan jilbab). Sebab, setelah dilepaskannya tsaub bukan berarti perempuan tua tersebut tanpa pakaian sama sekali. Pakaian yang dipakai di dalam jilbab (ditutupi jilbab) inilah yang ditunjukkan berdasarkan dalalah al isyarah itu. Pengertian berdasarkan dalalah al isyarah ini sah digunakan (Muhammad Abu Zahrah, Ushul al Fiqh : 146-147; Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al Fiqh : 143-153).

Fakta inilah yang diwakili oleh lafadz jilbab. Tentu tidak bisa kita mengatakan : “yang penting menutup aurat.” Karena, sekali lagi, sebuah lafadz mengandung konotasi yang diwakilinya. Konotasi makna untuk jilbab adalah pengertian di atas. Sebagai contoh, bisakah kita menyamakan persepsi bahwa sandal dan sepatu itu sama saja dengan alasan “yang penting alas kaki” ? Atau topi dan peci itu sama dengan alasan “yang penting penutup kepala” ? Tentu tidak, bukan ? Jika demikian, mengapa jilbab disamakan dengan selain jilbab dengan alasan “yang penting menutup aurat” ? Padahal, yang dituntut dalam berbagai firman Allah SWT di atas adalah mengenakan jilbab jika seorang wanita keluar rumah.

Pakaian ini (jilbab) masih harus dilengkapi dengan kerudung (khimar) yang dijulurkan sampai menutupi dadanya. Allah SWT berfirman : “… Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya.” (QS. An Nur : 31). Ali Ash Shabuni menjelaskan : “Kerudung itu hendaknya terjulur hingga dada supaya leher sampai dada tidak terlihat.” (Tafsir Ayat Ahkam (Terj) II/237). Bukan seperti wanita jahiliyah yang memakai kerudung tapi dilipat ke belakang dan bagian depannya menganga lebar sehingga tampaklah bagian telinga dan dada mereka (Imam Syaukani, Faidul Qadir IV/23).

Maka harus dibedakan antara jilbab dan kerudung (khimar). Saat ini banyak salah kaprah. Seorang wanita tidak bisa dikatakan berjilbab sekalipun dia telah memakai kerudung (khimar). Karena, jilbab dan kerudung (khimar) adalah dua hal berbeda yang ditunjukkan oleh nash yang berbeda dengan penunjukan makna lafadz yang berbeda pula.

Dari penelaahan di atas jelaslah bahwa pakaian wanita di saat mereka keluar rumah telah ditetapkan oleh Allah SWT secara rinci dan gamblang, yakni pakaian dalam/keseharian (al mihnah), kerudung (khimar), dan jilbab (pakaian luas seperti terowongan/tidak terputus/potongan (misal: pakaian atas + rok), tidak memiliki belahan dan tidak cungkring sehingga menampakkan mata kaki (oleh sebab itu kaos kaki bukan bagian dari berjilbab); fakta mudahnya adalah jubah/gamis).

Owh iya, yang tidak kalah penting juga dalam memperhatikan penampilan muslimah selain menutup aurat ialah tidak tabaruj :)
Artikel Terkait
Share on Google Plus
"Semoga Menginspirasi"

1 Tanggapan: