Ketika Ibrahim muda bertanya kepada ayahnya, Azar, mengapa
kaumnya menyembah berhala sedangkan berhala adalah ciptaan ayahnya, Azar yang
tidak bisa menjawab menjadi sangat marah. “Mereka menjawab: “Kami mendapati
bapak-bapak kami menyembahnya”. (TQS. al-Anbiya [21] : 53)
Ketika Ibrahim berdebat dengan Namrudz, raja otoriter yang
musyrik, mengapa Namrudz tidak bertanya saja kepada berhala terbesar siapa
siapa yang menghancurkan berhala-berhala lain, Namruz pun marah. “Sebenarnya
patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala
itu, jika mereka dapat berbicara”. Maka mereka telah kembali kepada kesadaran
mereka dan lalu berkata: “Sesungguhnya kamu sekalian adalah orang-orang yang
menganiaya (diri sendiri)”, (TQS. al-Anbiya [21] : 63-64)
Pembaca budiman, masyarakat kita memang gemar mengembangkan
cara berpikir yang kacau. Entah dengan alasan iseng atau mencari legitimasi
atas perbuatan konyol yang mereka kerjakan. Ketika Ryan, seorang gay melakukan
pembunuhan berantai yang menelan 12 jiwa, muncullah pembelaan terhadap pengikut
kaum Sodom ini. Bahwa gay tidaklah identik dengan kekerasan sampai pernyataan
bahwa gay bukanlah penyimpangan tapi lifesyle.
Ketika banyak elemen umat Islam menyerukan kewajiban
menegakkan syariah Islam, muncul pertentangan. Alasan transnasional, tak sesuai
budaya bangsa, tak toleran pada pluralisme/kemajemukan, dsb. mengemuka.
Semua logika itu padahal absurd. Kacau. Jika gay dan lesbian
harus diterima karena itu adalah lifestyle, apakah kemudian sadomachocism,
kumpul kebo, konsumsi narkoba, kelak akan diterima juga, karena semuanya
lifestyle. Bukankah banyak negara mengesahkan narkoba karena tuntutan
masyarakat? Bisa jadi korupsi yang menurut Bung Hatta sudah menjadi budaya dan
berurat berakar boleh jadi akan dilegalkan. Misalhnya, korupsi boleh asal
bagi-bagi atau dibawah sekitar 1 miliyar. Jika iya, maka siap-siaplah bangsa
ini lebih menderita lagi.
Alasan penolakan syariat Islam dan Khilafah Islamiyah,
dengan alasan itu ideologi trans-nasional juga mengada-ada. Islam memang bukan
berasal dari negeri ini, tapi datang dari ‘langit’ (agama samawi). Dan bukan
hanya Islam yang trans-nasional, tapi semua agama yang kini eksis di tanah air
juga ‘produk’ impur; Hindu, Budha, Kristen, Kong Ho Cu. Yang asli hanyalah
animisme dan dinamism, seperti kejawen atau kesundaan. Jangan lupa, demokrasi
juga berasal dari Yunani, yang asli adalah kerajaan dan kesultanan.
Lagipula, kalau memang menolak ajaran trans-nasional,
bisa-bisa arah kiblat bukan kagi ke Kabah –karena berada di luar negeri- tapi
ke tugu Monas atau ke Laut Selatan. Haji pun bukan ke Tanah Suci, tapi Tanah
Lot atau Sangir Talaud.
Tapi begitulah, meski banyak logika dan hukum yang jelas,
lebih banyak orang senang dengan logika yang tak logis. Inilah bangsa yang
bersih. Alih-alih mencari kebenaran, mereka lebih suka membuangnya. Kasihan,
memang
[januar, jejak ,
edisi 11/ tahun 01/ oktober 2008]
Artikel Terkait
0 Tanggapan:
Posting Komentar