Islam Inside?

Yang namanya amal –dalam Islam- semuanya tergantung pada niat. Betul tidak?

Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh, Umar bin Al-Khathab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya itu Karena kesenangan dunia atau karena seorang wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya”.
[Diriwayatkan oleh dua orang ahli hadits yaitu Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari (orang Bukhara) dan Abul Husain Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naisaburi di dalam kedua kitabnya yang paling shahih di antara semua kitab hadits. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907]

Nah, lantas apakah hanya tergantung niat saja? Bagaimana dengan metode atau cara dari beramal itu sendiri?

Nabi saw. bersabda:
Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian hingga dia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa [Lihat: Tafsir al-Qurthubi, XVI/166].

Firman Allah SWT:
Siapa saja yang mencari agama selain Islam, sekai-kali tidaklah akan diterima, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi (TQS Ali ‘Imran: 85).

Nabi saw. juga bersabda:
Siapa saja yang mengada-adakan (perkara baru) dalam urusan (agama)-ku ini, sesuatu yang tidak terdapat di dalamnya, maka sesuatu itu pasti tertolak (HR al-Bukhari).

Ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa Allah SWT. memerintahkan manusia untuk hanya berpedoman hidup dengan Islam, dan ini berlaku untuk hal apapun. Menjadikan selain Islam sebagai pedoman hidup jelas tidak akan diterima. Dengan demikian cara atau metode menjalankan amal juga mutlak hanya berpedoman kepada Islam. Benar begitu?

Maka dari itu, standar dari perbuatan manusia terikat pada lima hukum, yaitu harom, makruh, mubah, sunnah, dan wajib. Dengan demikian, setiap perbuatan mempunyai nilai. Setiap cara, metode, tindakan pasti mempunyai hukum. Dibalik hukum pasti ada konsekuensi. Yang namanya konsekuensi bisa menyenangkan, dan menyedihkan.

Kesimpulannya, dalam melakukan amal shalih ada dua komponen penting, yang tidak boleh tidak harus ada atau diwujudkan. Yaitu niat yang tulus untuk ibadah kepada Allah, serta jalan/metode/cara yang tepat, yang sejalan dengan Islam.

Yang sering menjadi pembahasan saat ini adalah penegakkan kembali Islam dalam naungan khilafah. Banyak upaya yang dilakukan umat Islam untuk menegakkan kembali Khilafah. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana menegakkannya? Sekali lagi, yang perlu dibentuk pertama kali adalah niat yang tulus karena Allah SWT. Lalu setelah mewujudkan niat, bagaimana? Maka, selanjutnya adalah menjalankan cara/metode menuju visi tersebut. Pertanyaan yang lebih mengerucut lagi, bagaimana metode untuk mewujudkan visi penegakkan Islam tersebut? Tentu saja menggunakan cara yang tidak bertentangan dengan pedoman hidup (Islam) dan mengikuti jalan Rasulullah saw.

Tidak bisa dipungkiri ada pihak tertentu yang berusaha menerapkan Islam dengan jalan demokrasi. Alasan untuk menjadikan demokrasi sebagai pilihan menegakkan Islam beragam. Namun yang populer adalah menjadikan demokrasi sebagai alat tunggangan untuk menegakkan Sistem Islam. Berarti logikanya, dengan cara menunggangi demokrasi bisa menumbangkan demokrasi. PERTANYAANNYA: boleh menegakkan Islam (Khilafah) dengan metode atau cara tersebut? Artinya bagaimana jika visi menegakkan Islam tersebut berusaha diwujudkan dengan cara masuk ke dalam sistem demokrasi? Contohnya dengan menjadi anggota parlemen atau menjadi presiden, atau menteri, atau kepala daerah.

Kembali lagi ke pembahasan sebelumnya, yang namanya cara atau metode harus sesuai dengan pedoman hidup (Islam). Lalu apakah cara masuk ke dalam demokrasi sesuai dengan tuntunan Islam? Mari kita gali.

Demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang berakidah sekulerisme atau pemisahan agama dari kehidupan. Yang namanya pemisahan agama dari kehidupan, bagi umat Islam hakikatnya adalah bentuk pelanggaran terhadap akidah. Sebab akidah Islam menghendaki untuk menuntun semua urusan manusia. Mulai dari dimensi hubungan manusia dengan Pencipta, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lainnya.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

… Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agama-mu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu …[Al-Maa’idah: 3].

Informasi dari Pencipta ini menjelaskan bahwa Islam itu sempurna dan mengatur segala hal. Maka pengadopsian paham sekulerisme (pemisahan agama dari urusan kehidupan [politik, ekonomi, budaya, militer, pergaulan, dll]) akan memangkas hakikat kesempurnaan Islam. Atau dengan kata lain Islam tidak akan diterapkan secara keseluruhan.

Allah SWT Berfirman:
"Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah kamu kedalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah syaitan. Sungguh, ia (syaitan) musuh yang nyata bagimu". (TQS al-Baqarah: 208)

Informasi ini menjelaskan bahwa konsekuensi dari keimanan seseorang terhadap Islam adalah menerima Islam secara keseluruhan, tidak setengah setengah. Bagaimana kalau setengah setengah? Apabila setengah setengah maka ia dinyatakan lalai (berdosa). Yang namanya kelalaian pasti ada hukuman, kecuali ia masih memiliki kesempatan untuk menebus kelalaiannya tersebut dan berusaha untuk tidak mengulanya kembali. 

Lantas, sekarang setelah kita dapatkan informasi bahwa Islam itu sempurna (mengatur segala hal), ditambah lagi informasi bahwa kita yang telah beriman diharuskan untuk menerima dan menjalankan Islam secara keseluruhan, maka hasilnya sama dengan: Orang beriman harus menjadikan seluruh aspek kehidupannya berlandaskan Islam. Dengan demikian, jelas bahwa demokrasi dengan asas sekulerismenya (pemisahan agama dari kehidupan) tidak cocok untuk Islam. Ini sekedar dari sudut pandang asas. Bagaimana dengan pelaksanaannya?

Ditegaskan pula bahwa demokrasi itu “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat” (Abraham Lincoln). Ini berarti rakyat atau manusia memiliki otoritas penuh untuk mengatur hidupnya sendiri. Manusia lah yang memiliki wewenang untuk membuat hukum, bukan yang lain. Lalu dimana letak Allah SWT? Dimana letak Kallam-Nya yang sempurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan itu ditempatkan?

“Suara Rakyat Adalah Suara Tuhan”. Nah, ungkapan ini lebih-sangat menegaskan lagi otoritas manusia. Ini sama halnya dengan mengembalikan manusia ke jaman jahiliyah, dimana manusia mengaku bertuhan kepada Allah namun yang disembah adalah berhala-berhala mereka. Dijaman sekarang, manusia mengaku beriman kepada Allah SWT. namun, yang menjadi acuan hidupnya adalah hukum-hukum rekayasa otak manusia. Masyarakat muslim sekarang sangat rajin shalat dimesjid, namun setelah menjalankan ibadah shalat mereka kembali berkatifitas maksiat. Faktanya, banyak masyarakat muslim yang bergelut mengais rezeki di bank-bank ribawi. KKN di tubuh Pegawai negeri tidak tabu lagi. Campur baur sana sini (pergaulan bebas) semakin menjadi-jadi. Dan seterusnya... Sekali lagi, konsep dari demokraso adalah 'suara rakyat, suara tuhan'. Rakyat adalah tuhan. Lantas dimana letak keagungan Allah SWT. Letaknya hanya pada saat ibadah ritual semata.

Dengan demikian, demokasi adalah sistem yang buruk dan kufur. Haram menyebarkannya, menerapkannya, apalagi memperjuangkannya. (Abdul Qadim Zallum, Demokrasi Sistem Kufur).

Nah, kembali ke pertanyaan awal. Bagaimana dengan ‘cara menegakkan Islam melalui metode terjun ke dalam sistem demokrasi’? Sudah tentu jawabannya adalah harom. Kenapa demikian? Karena akadnya sudah jelas. Yang ingin berkecimpung ke dalam sistem demokrasi harus ber-akad rela dan setia kepada sistem demokrasi tersebut sampai ke akarnya (sekularisme). Yang namanya menjadi anggota parlemen pasti ber-akad rela menjadi penggodok dan pembuat hukum. Yang namanya menjadi pemerintah di negara demokrasi pasti ber-akad patuh kepada UU buatan manusia sekalipun bertentangan dengan akidah Islam. Buktinya banyak. Yang namanya masuk ke dalam demokrasi pasti ber-akad menjunjung tinggi UU yang notabene hasil dari demokrasi, sedangkan syariat Islam dipaksakan tunduk di bawahnya. Buktinya banyak. Yang namanya menjadi anggota parlemen dan Pemerintah sudah pasti ber-akadnya rela menjadi legislator (yang mengesahkan) sekaligus penjaga hukum-hukum buatan tangan manusia. Kuncinya adalah 'AKAD'. Yang namanya akad adalah bentuk persetujuan. Artinya, ber-akad untuk masuk ke dalam sistem demokrasi adalah sejatinya ber-akad (setuju) untuk menentang (berkhianat kepada) Allah SWT atau mendukung upaya penentangan terhadap Allah SWT. Bukan untuk menegakkan hukum Allah SWT. Nah, dari akad inilah dapat dipastikan bahwa cara menegakkan Islam dengan jalan demikian adalah batil atau bertentangan dengan Syariah Islam. Dengan demikian, meskipun niatnya tulus namun caranya batil tetap saja tertolak bahkan tidak akan sampai pada tujuan yang hakiki.

Kaidah fikih menyebutkan: la yutawashshalu ila al-halal bi al-haram (tidak boleh mencapai yang halal dengan menggunakan sarana yang haram). [Ini disebutkan dalam kitab Ad-Da’wah ila al-Islam karya Syaikh Ahmad Mahmud halaman 101]

Lantas, bagaimana jikalau alasannya adalah sedang dalam kondisi terdesak/darurat. Yaitu umat Islam sekarang dalam keadaan terdesak/darurat, sehingga mau tidak mau harus menggunakan sistem demokrasi.

Yang namanya terdesak/darurat itu ukurannya adalah kematian.

Telah tersebut dalam kitab asybah wan nazhair;
Yang dimaksud dengan dharurat yaitu urusan yang apabila tidak dikerjakan maka akan binasa atau mendekati binasa.

Lalu, apakah kondisi sekarang dapat dikatakan sebagai keadaan terdesak/darurat? Masing-masing pasti sudah tahu jawabannya.

Maka, telah jelas sekarang bahwa berusaha menegakkan sistem Islam dengan cara masuk ke dalam sistem demorasi adalah batil, meskipun 'bermodalkan' niat yang tulus. Yang perlu diperhatikan dalam ber-amal adalah dua hal , yaitu niat dan cara/metode. Selama niatnya bukan karena Allah SWT. meskipun caranya tidak melanggar syariat maka amalnya akan tertolak. Contohnya, Paman Rasulullah saw. Orang yang baik suka melolong agama Allah SWT. Namun agamanya bukan Islam. Maka amalannya akan tertolak Begitu pula sebaliknya. Berniat tulus karena ibadah kepada Allah SWT., namun caranya batil. Contoh, seorang suami yang berusaha menafkahi keluarganya, namun dengan cara mencuri. Apakah ini cara beramalan yang tepat?

Lantas, bagaimana cara/metode/jalan yang tepat dan dibenarkan Islam untuk menegakkan sistem Islam (khilafah)? KH. Shiddiq al-Jawi menjelaskan: Perjuangan yang sahih bukanlah melalui demokrasi, melainkan mencontoh Rasulullah saw., yaitu menekuni jalan dakwah melalui aktivitas perjuangan politik (kifah siyasi) dan perang Ideologi (shira’ fikri), serta berupaya melakukan thalabun-nushrah (mencari dukungan) dari pihak-pihak yang mampu menyerahkan kekuasaan untuk menegakkan Khilafah (sistem Islam) demi tegaknya syariah secara kaffah. Inilah satu-satunya cara yang wajib ditempuh umat. Tidak ada yang lain. (al-Wa’ie, No. 151 Tahun XIII, 1-31 Maret 2013)

Wallahu a’lam bi ash-shawab. []
Artikel Terkait
Share on Google Plus
"Semoga Menginspirasi"
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 Tanggapan:

Posting Komentar