Bolehkah saya bertanya kepada anda, apa itu jilbab?
Lalu bolehkah saya bertanya lagi, apa itu kerudung?
Lalu bolehkah saya bertanya lagi, apa itu kerudung?
Kemungkinan besar jawaban anda sama persis dengan jawaban
saya yang dulu. Dulu jika saya ditanya apa itu jilbab? maka saya akan menjawab:
jilbab itu kerudung. Atau sebaliknya: apa itu kerudung? Maka saya akan
menjawab: kerudung itu jilbab. Kesimpulannya jilbab dan kerudung itu sama.
Kenapa saya yang dulu menilai kerudung dan jilbab itu sama?
Karena informasi yang saya peroleh demikian adanya. Yaitu jilbab itu kerudung,
kerudung itu jilbab. Informasi semacam ini bisa didapatkan dari keluarga, dari
masyarakat. Bahkan media massa yang aktivitasnya menyajikan informasi kepada
masyarakat juga bilang demikian. Jika mendeskripsikan berita yang melibatkan
seorang wanita berkerudung, maka mereka mengucapkannya atau menulisnya wanita jilbab. Jilbab itu kerudung,
kerudung itu jilbab. Inilah gambaran kondisi sekarang ditengah bertahtanya
sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) dan liberalisme (paham kebebasan)
di kehidupan.
Sekarang pertanyaannya: apakah benar kerudung dan jilbab itu
sama? Mari kita gali.
Allah SWT berfirman:
“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya
ke seluruh tubuh mereka”. Yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah
untuk dikenal, karena itu mereka tidak
diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (TQS. al-Ahzab : 59).
Allah SWT juga berfirman:
“....dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung (khimar) mereka hingga
(menutupi) dada mereka...” (QS.
an-Nuur : 31).
Jadi, apakah benar kerudung dan jilbab itu sama?
sama nggaaaak???
sama nggaaaak???
Mungkin informasi seperti ini belum cukup menjelaskan dan
memuaskan pembaca. Maka mari kita gali lebih dalam lagi penjelasan mengenai hal
ini.
(Sumber: Media Umat edisi 15 februari 2013) Pakaian wanita dalam kehidupan umum yang sesuai hukum syara
ada dua bagian, yaitu baju bawah (libas asfal) yang disebut dengan jilbab, dan
baju atas (libas a’la) yaitu khimar (kerudung). Hal ini telah dinyatakan oleh
ayat-ayat Al-Qur’an (di atas) yang sifatnya qat’i (pasti).
Dalam kitab Al Mu’jam Al Wasith karya Dr Ibrahim Anis (Kairo
: Darul Maarif) halaman 128, jilbab diartikan sebagai pakaian yang menutupi
seluruh tubuh, atau pakaian luar yang dikenakan di atas pakaian rumah, seperti
milhafah (baju terusan), atau Al Mula’ah tasytamilu biha al mar’ah (pakaian
luar yang digunakan untuk menutupi seluruh tubuh wanita)
Jadi, diwajibkan
atas wanita menganakan jilbab, yakni kain terusan (dari atas sampai bawah) yang
dikenakan sebagai pakaian luar (di bawahnya masih ada pakaian rumah, seperti
daster, dan tidak langsung pakaian dalam) lalu diulurkan ke bawah hingga
menutupi kedua kakinya. Untuk baju atas, disyariatkan khimar, yaitu kerudung
atau apa saja yang serupa dengannya yang berfungsi menutupi seluruh kepala,
leher dan lubang baju di dada. Pakaian ini harus dikenakan jika hendak keluar
menuju pasar-pasar atau berjalan melalui jalanan umum (an-Nabhani, 1990 : 48)
Nah... sekarang saya yakin pembaca udah mengerti. Ternyata
jilbab dan kerudung itu nggak sama. Beda. Lain. Jadi anggapan kalau jilbab dan
kerudung itu sama, maka itu anggapan yang berasas pada informasi yang nggak
valid alias ngaur, tidak peduli siapapun mereka yang menyampaikannya, termasuk
media massa sekalipun. Dengan demikian tidak ada alasan lagi untuk mengatakan
kerudung itu jilbab, dan jilbab itu kerudung.
Selain posting ini untuk menjelaskan antara kerudung dan
jilbab, sebenarnya ada point penting yang ingin saya sampaikan. Yaitu terkait
sumber informasi, yang mana sumber informasi tersebut sejatinya menjadi patokan
kita (manusia) untuk mengambil tindakan serta berperilaku selaku makhluk yang
dikaruniai akal-pikiran.
Mengutip tulisan divan semesta dalam mini magz open mind
edisi 16, “Manusia harus menentukan siapa yang ia percaya sebagai sumber
informasi yang akan mengajarkan segalanya. Dari kepercayaan terhadap sumber
informasi itulah, kita bisa melanjutkan kehidupan.”
Jibab itu apa, kerudung itu apa, maka perlu sumber informasi
yang valid dan terpercaya, agar pemahaman dan tindakan tidak menyimpang. Begitu
pula dengan hal-hal lainnya seperti cara berpakaian, maka harus menggunakan
sumber informasi yang valid pula (tidak seenaknya berpakaian).
Selanjutnya divan semesta juga menuliskan “Setiap pemahaman
tentu memiliki aturan yang berbeda. Itu sebabnya, kita harus saling
menghormati. Yang bisa kita lakukan adalah mencari dan membenturkan apakah
pemilik, pemberi informasi yang kita miliki dapat kita pertanggung jawabkan
eksistensinya secara logika.”
Mudah-mudahan bermanfaat..... chao
Artikel Terkait
0 Tanggapan:
Posting Komentar