Jika ada yang mencari di google, maka anda akan menjumpai
suatu posting blog yang judulnya sama dengan judul posting ini. Ya, benar saya
meniru judulnya, namun bukan isi tulisannya. Karena bagi saya ini judul yang
menarik untuk dibahas di tengah kegalauan saya yang sagat ingin menulis. Lalu
apakah saya plagiat karena mencontek dan tidak menghargai karya orang lain? Mungkin
tidak, justru ini cara saya menghargai karya seseorang, sebab cara saya
mengagumi dan menghargai seseorang adalah menggap serius dan penting terhadap karyanya. Nah, inilah wujud rasa kagum saya,
karena judul ini menarik bagi saya dan saya juga ingin menuliskan kisah saya
tentang judul ini. Hehe...
“Jangan Pulang kampung Sebelum Sarjana” menurut saya pribadi
ungkapan ini bisa dijadikan prinsip yang lumayan bagus untuk diterapkan pada masa-masa
kuliah, setidaknya untuk akhir-akhir ini. Bagaimana tidak, sudah lama sekali
kuliah ini kujalani, namun belum selesai juga. Padahal tinggal menyelesaikan
sebuah skripsi. Malasnya minta ampun. Oleh karena tidak ingin membuat orang tua
kecewa apabila pulang kampung namun belum memperoleh title sarjana dan terkesan
malas-malasan, maka perinsip di atas ku terapkan. J
Sebenarnya bukan sengaja untuk mengulur masa kuliah. Pada awalnya
saya sangat bersemangat untuk menyelesaikan kuliah di Fakultas Hukum itu. Semenjak
awal kuliah telingaku selalu disusupi dengan kalimat-kalimat pengagungan akan hukum
(hukum positif). Semua yang diinformasikan adalah kebaikan dari hukum itu
sendiri dan sistem yang menjadi naungannya. Dikepala kami yang ditanamkan
adalah bahwa hukum di negeri kami ini adalah berasas pada kebaikan. Diproduksi dengan
metode yang benar. Dengan asas ini kemakmuran dan kedamaian akan tercapai. Itulah
hakikat dari cita cita hukum. Maka daripada itu beruntunglah kami yang
mempelajarinya, memurnikannya, dan yang memperjuangkan tegaknya hukum itu nanti.
Kami semua nantinya akan menjadi orang besar karena mengenal hukum ini. Pemikiran-pemikiran
ini tentunya memberikan semangat kepada saya untuk serius kuliah. Jadi kesimpulannya
adalah semangat kuliah saya ada pada ‘kebanggan’. Bangga menjadi sarjana hukum.
J
Sekian lama aku mulai disadarkan, bahwa ‘hukum’ yang selama
ini membuatku bangga ternyata tidak lebih dari sekedar karya kebodohan yang
menjerumuskan kepada kehinaan. Tidak layak untuk dijadikan aturan hidup sama
sekali. Hukum yang lahir dari rahim sekularisme (pemisahan agama dari
kehidupan), dari suatu asas yang masih berbentuk filosofi yang bisa
diterjemahkan dengan berbagai bahasa dan makna politik, dan juga konstitusi
yang merupakan hasil karya manusia yang setidaknya lebih baik dari tulisanku
ini (hehehe). Hukum
yang menjadi bukti kebodohan manusia karena merasa mampu untuk mengatur
hidupnya sendiri tanpa menoleh kepada aturan dari Penciptanya. Hukum yang
sekian lama telah menjadi alat kezoliman para diktator-diktator minoritas
terhadap rakyat mayoritas. Hukum yang senantiasa berubah ke arah
kerusakan-kerusakan. Hukum yang selalu bercerita tentang kesejahteraan dan
kebahagian hidup, namun sejatinya hanyalah khayalan. Hukum yang selalu berusaha
mendiskriminasi umat Islam.
Mungkin itu hal besar yang membuat saya tidak berhasrat
untuk menyelesaikan kuliah. Dorongan yang sebelumnya menggebu-gebu berubah
menjadi angin lalu. Tidak ada lagi kebanggaan menjadi sarjana hukum. Saya tidak
menyalahkan agama, tidak juga menyalahkan fakultas beserta para dosen. Saya hanya menyalahkan diri sendiri sebab sangat bodoh
sebelumnya (masa kecil) melalaikan diri untuk memperdalam ilmu Agama. Dan juga
sangat bodoh menjadikan ‘kebanggan’ sebagai semangat. Adalah lebih tepat lagi
sebaiknya saya bersyukur sebab sudah ditunjukkan jalan oleh-Nya, lalu
memperbaiki atau meluruskan ‘motif’ supaya saya mendapatkan kembali semangat
untuk menyelesaikan perkuliahan. Mudah-mudahan Allah memberikan kemudahan...
Artikel Terkait
0 Tanggapan:
Posting Komentar