Kehidupan remaja memang menyenangan. Menyenagkan kenapa? Karena
masa remaja adalah masa membangun persahabatan secara masif, mulai dari bangku
sekolah, hingga kuliah, bahkan di tempat kerja. Hal-hal mengasyikkan bersama
teman sering dialami pada masa ini. Namun dari semua itu yang paling menonjol
dan berkesan adalah masa remaja merupakan masa dimana naluri telah mengalami
revolusi. Naluri yang saya maksud adalah naluri untuk menyukai lawan jenisnya. Dari
sebelumnya merasa biasa saja terhadap lawan jenisnya, menginjak remaja berubah
menjadi rasa suka-menyukai lawan jenisnya. Nah, rasa menyukai ini bisa berasal
dari berbagai faktor. Diantara itu semua yang paling menonjol di jaman sekarang
adalah karena tampilan fisik. Diantaranya termasuk bentuk tubuh, tingkah laku,
gaya bicara, hingga suara sekalipun.
Dari kesemua hal tersebut memungkinkan timbulnya rasa ingin
memiliki seorang pria terhadap wanita. Pada zaman kejayaan Islam, rasa ingin
memiliki ini diwujudkan dengan pernikahan. Hanya dengan jalan pernikahan maka
rasa ingin memiliki secara “legal” didapatkan. Sedangkan di luar itu, dinilai
sebagai jalur “ilegal” (kecuali hamba sahaya). Namun, dizaman keruntuhan Islam
munculah budaya-budaya asing pendobrak prinsip-prinsip Islam. Mulai saat itu,
umat Islam mengenal istilah ‘Pacaran’, yaitu sebagai suatu ikatan yang
menyatukan rasa cinta antara lelaki dan wanita dengan tanggung jawab terbatas,
atau bahkan bebas tanggung jawab. Dengan demikian pasangan pria dan wanita yang
mencintai dapat memiliki satu sama lain tanpa status pernikahan. Tanda-tanda ‘memiliki’
ini bisa kita lihat pada istilah-istiah yang umum dalam dunia perpacaran,
seperti “putus, nyambung, jadian, pacarku/pacarmu, beb, hunny, papi, mami,
bunda, dan seterusnya-dan seterusnya”.
Budaya pacaran ini semakin menyebar setelah mendapat
berbagai dukungan. Semakin budaya pacara ini ditentang oleh berbagai kelompok
Islam semakin ramai pula kelompok yang melegalkan pacaran dengan mengatas
namakan Islam itu sendiri, diantaranya bahkan ada yang berstatus pewaris para
nabi alias ulama. Maka tidak heran sekarang bisa kita jumpai istilah pacaran
Islami. Alasannya klasik, yaitu sebagai ajang penjajakan, dan pengenalan untuk
membentuk keluarga yang berkualitas. Dengan demikian jika suatu keluarga tidak
diawali dengan pacaran maka keluarga itu bukanlah keluarga yang berkualitas,
atau paling tidak kualitasnya berada di bawah keluarga yang diawali dengan
pacaran. Namun, jika bicara fakta, alasan tersebut sangat bisa dibantah. Banyak
data yang memaparkan bahwa angka perceraian dan KDRT berasal dari keluarga yang
justru mengawali bahtera rumah tangganya dengan pacaran. Ini bukti bahwa
pacaran sama sekali tidak menjamin kelangsungan rumah tangga.
Alasan lainnya, bahwa jika menggunakan metode Islam dalam
membangun rumah tangga maka terkesan “membeli kucing dalam karung”. Alias untung-untungan.
Jadi status lelaki atau wanita tersebut belum jelas, apakah lelaki/wanita
baik-baik ataukah lelaki/wanita yang tidak baik. Meskipun didapatkan
lelaki/wanita yang dianggap baik dan pantas untuk dijadikan pasangan, itupun
belum tentu menggunakan standar yang layak, seperti tampilan fisik, harta,
kedudukan, keturunan dan sebagainya. Sedangkan Islam sebagai standar yang layak
dipinggirkan.
Hakikatnya, pacaran itu lah yang sejatinya membeli kucing
dalam karung, bahkan jelas-jelas bukan kucing sekalipun tetap dibeli. Dalam pacaran,
seorang lelaki sulit jujur, yang sering ditampilkan hanyalah akting, bualan,
dan gombalan. Semua itu untuk memikat dan menyenangkan pasangannya. Setelah pasangannya
terpikat maka biasanya hasrat lelaki itu (yang menjadi tujuan utamanya) bisa
terpenuhi. Begitu juga dengan wanita, demi untuk mendapatkan lelaki idaman,
wanita sering merubah diri. Dengan demikian sifat dan sikap asli dari pasangan
dalam hubungan pacaran sebenarnya tidak akan kita temukan. Tentunya ini merusak
tujuan awal dari pacaran itu sendiri yaitu untuk penjajakan dan pengenalan. Ini
jelas membeli kucing dalam karung. Mekipun ada yang berusaha jujur dan tampil
apa adanya, maka sudah dipastikan bahwa lelaki atau wanita itu mempunya sifat
dan sikap yang buruk. Karena lelaki dan perempuan yang baik tidak akan
melangsungkan ikatan pacaran (lebih jelasnya pelajari agama Islam). Mana mungkin
perempuan yang baik rela disentuh orang asing?, dan mana mungkin lelaki yang
baik mengajak wanita yang disayanginya mendekati zina?
Namun mirisnya, hubungan ini biasanya dilajutkan ke jenjang
pernikahan. Wajar saja, karena standar baik dan buruk yang digunakan bukanlah
Islam, melainkan berubah kepada harta, kedudukan, jabatan, keturunan, tampilan
fisik, dan lain-lain yang sifatnya temporal. Bukankah rumah tangga yang
dibangun dengan ikatan temporal akan berumur temporal pula? Gawatnya, kebiasaan
bermaksiat ini (pacaran) dibiarkan. Jangan terkejut bila pasangan suami istri
yang mengawali pernikahannya dengan pacaran menjumpai suaminya atau istrinya kelak
selingkuh (pacaran dengan pasangan lain) karena sudah terbiasa bermaksiat sebelumnya,
atau sudah terbiasa melanggar perintah Allah. Masih inginkah menjadikan orang
yang biasa melanggar perintah Allah sebagai pasangan anda?
Sedangkan Islam mengunakan metode pengenalan yang capat dan
akuran. Cepat karena akadnya jelas menuju ikatan pernikahan, dan jelas karena
seleksinya menggunakan standar yang jitu yaitu Islam. Calon suami yang baik
tentunya akan menjunjung Islam, begitu pula calon istri yang baik akan
memancarkan cahaya ketakwaan. Rumah tangga yang dilandasi pondasi ketakwaan
akan mewujudkan keharmonisan. Dengan demikian suami dan istri yang taqwa akan
membangun rumah tangga yang harmonis dan kekal, Insya Allah. Metode ini
sejatinya lebih konkrit dari pada pacaran, hanya dengan standar ketaatannya
kepada Sang Pencipta maka bisa diyakinkan bahwa lelaki atau wanita itu adalah
orang baik. Walaupun dikemudian hari harus bercerai maka perceraian itu pun
dilandasi oleh alasan syariah, bukan karena alasan harta, jabatan, keturunan,
dan sebagainya. Jadi logikanya metode yang mana membeli kucing dalam karung?
Point penting dari penulis yaitu dalam menentukan pasangan hidup
tetapkan terlebih dahulu standar baik dan buruknya. Dan hal apapun yang jenius nan
cemerlang di dunia ini tidak ada yang lebih pantas untuk dijadikan standar
melainkan hanya Islam.
Artikel Terkait
0 Tanggapan:
Posting Komentar