Pernah mendengar
iklan di tv yang berkata “Menabunglah di Bank xxx, tingkatkan saldo anda dan
dapatkan hadiah menarik: 10 unit Range Rover Sport, 15 unit honda jaz, dan 200
unit yamaha moi.”?
Iklan yang sangat
menggiurkan bukan? Jika dijabarkan maka untuk mendapatkan hadiah-hadiah
tersebut syaratnya: (1) cukup dengan menabung di Bank tersebut, (2) lalu meningkatkan
jumlah tabungannya (saldo) hingga masuk kategori tertentu, (3) lalu menang
undian. Kesimpulannya adalah menabung di bank merupakan salah satu cara untuk
memperoleh harta (undian). Lalu pertanyaannya: apakah cara memperoleh harta
yang demikian masuk kategori metode yang halal atau haram? Mari kita simak
pembahasan berikut: [1]
Nasabah
yang mempunyai rekening di bank konvensional, haram hukumnya secara syar’i
menerima hadiah dari bank itu, baik berupa uang tunai, barang (seperti mobil),
ataupun bentuk-bentuk hadiah lainnya, baik hadiah langsung maupun melalui
undian. Semuanya haram dan termasuk kategori riba yang merupakan dosa besar (kaba`ir).
Dalil keharamannya ada dua; Pertama, karena
dalam pemberian hadiah tersebut terkandung unsur promosi/iklan kepada
masyarakat. Padahal bank konvensional menjalankan muamalah riba yang diharamkan
Islam, yaitu memberi bunga simpanan atau mengambil bunga pinjaman.
Mempromosikan sesuatu yang haram hukumnya haram, sesuai kaidah fiqih : At taabi’ taabi’ (segala sesuatu yang menjadi
ikutan/cabang dari sesuatu yang pokok, hukumnya mengikuti sesuatu yang pokok
itu). Dalam hal ini masalah pokoknya adalah aktivitas riba, sedang promosi
aktivitas ribawi adalah masalah cabangnya. Maka pemberian/penerimaan hadiah
dari bank konvensional haram, karena termasuk mempromosikan riba yang telah
diharamkan. (Yasir Thaha Ali Karawih, Al Mu’amalat al Maliyah al Mu’ashirah, hlm.
108; Imam Suyuthi, Al Asybah wa An Nazha`ir, hlm. 231; Ghamzu ‘Uyun Al Basha`ir,
Juz 2/hlm. 264; Khalid bin Abdillah Al Mushlih, Al Hawafiz At Tijariyyah At
Taswiqiyyah wa Ahkamuha fi Al Fiqh Al Islami, hlm. 55).
Kedua,
karena pemberian hadiah itu adalah pemberian pihak yang berutang (yaitu bank)
kepada pihak yang memberi hutang (yaitu nasabah yang mempunyai rekening).
Pemberian ini hukumnya haram. Sebab simpanan/tabungan (wada`i’) dari nasabah di bank konvensional secara
syar’i dianggap qardh (utang/pinjaman)
yang diberikan nasabah kepada bank. Hubungan antara bank dan nasabah dengan
demikian adalah hubungan antara pihak pemberi utang (muqridh), yaitu nasabah, dengan pihak yang berhutang (muqtaridh), yaitu bank. (Umar bin Abdil Aziz Al
Matrak, Ar Riba wa Al Mu’amalat Al Mashrifiyyah fi Nazhar As Syari’ah Al
Islamiyah, hlm. 345-340).
Maka dari itu, hadiah yang diberikan oleh bank
konvensional termasuk riba yang diharamkan oleh nash-nash syara’, di antaranya
sabda Rasulullah SAW (artinya), “Jika seseorang dari kamu memberi utang (qardh), lalu dia diberi hadiah, atau dinaikkan di atas
kendaraan (milik yang berutang), maka janganlah dia menaiki kendaraan itu dan
jangan pula dia menerima hadiah itu, kecuali hal itu sudah pernah terjadi
sebelumnya antara pemberi utang dan yang berutang.” (HR Ibnu Majah, hadits no
2432, Juz 2/hlm. 813, dari Anas bin Malik RA).
Adapun hukum menerima hadiah bagi nasabah yang mempunyai
rekening di bank syariah, ada perbedaan pendapat (khilafiyah) di
antara fuqoha kontemporer menjadi dua pendapat. Pertama,
membolehkan hadiah tersebut karena menganggap tak ada larangan memberi hadiah
selama cara distribusi hadiahnya tak melanggar syara’. Kedua, tak
membolehkan hadiah tersebut karena dianggap sikap taqlid kepada perbankan
Barat. (Basim ‘Amir, Al Jawa`iz Ahkamuha Al Fiqhiyyah wa Tathbiqatuha Al Mu’ashirah,
hlm. 114-115; Said Manshur, Ahkamul Hadiyyah fi Al Fiqh Al Islami, hlm. 169-170).
Menurut kami, yang rajih adalah pendapat yang
mengharamkan, baik hadiah itu diberikan kepada nasabah yang mempunyai rekening
tabungan (wadi’ah), maupun yang mempunyai rekening investasi (al hisabat al istitsmariyyah), seperti rekening
mudharabah. Hadiah dari rekening tabungan (wadi’ah) jelas
haram, sebab termasuk riba yang lahir dariqardh. Adapun
hadiah dari rekening investasi (al hisabat al istitsmariyyah),
sebagian ulama membolehkannya dengan syarat hadiah diambil dari modal
mudharabah, bukan dari labanya. Namun kami cenderung kepada pendapat Ali As
Salus yang tetap mengharamkannya. Sebab modal yang diberikan nasabah kepada bank
bagaimana pun juga tetap dihukumi sebagai qardh, sehingga hadiah dari adanya qardh hukumnya tetap haram. (Ali As Salus, Mausu’ah Al Qadhaya Al Fiqhiyah
Al Mu’ashirah, hlm. 160). Wallahu a’lam.
[1] http://hizbut-tahrir.or.id/2012/12/14/hukum-menerima-hadiah-dari-bank/
Artikel Terkait
0 Tanggapan:
Posting Komentar